Jumat, 02 April 2010

Tong Sampah

Seorang pria tua yang bijak memutuskan untuk pensiun dan membeli rumah mungil dekat sebuah SMP. Selama beberapa minggu ia menikmati masa-masa pensiunnya dengan tenang dan damai. Kebetulan saat itu sedang masa liburan sekolah.
Tak berapa lama kemudian, masa sekolah tiba. Dan, sekolah itu pun penuh dengan anak-anak. Suasana tenang dan nyaman menjadi sedikit berubah. Namun yang paling menjengkelkan pak Tua adalah, setiap hari ada tiga anak laki-laki lewat di depan rumah yang suka memukuli tong sampah yang ada di pinggir jalan. Mereka membikin keributan sepanjang hari dan berulah seolah-olah menjadi pemain perkusi hebat.
Begitu terus dari hari ke hari. Sampai akhirnya pak Tua merasa harus melakukan sesuatu pada mereka. Keesokan harinya, pak Tua keluar rumah sambil tersenyum lebar menghampiri tiga anak laki-laki yang sedang asyik memukuli tong sampah. Ia menghentikan permainan mereka, dan berkata, “Hai, anak-anak! Kalian pasti suka bersenang-senang. Saya suka sekali dengan cara kalian bersenang-senang seperti ini. Sewaktu saya masih kecil, saya juga suka bermain-main seperti kalian. Nah, apakah kalian mau saya beri uang?”
“Mau.. mau..” sahut ketiga anak itu serempak.
“Okay, begini,” pak Tua itu tersenyum.
Lalu ia mengeluarkan tiga lembar uang ribuan dari sakunya. Katanya, “Masing-masing dari kalian saya beri uang seribu. Tapi kalian harus berjanji mau bermain-main di sini dan memukuli tong sampah ini setiap hari.” Anak-anak itu senangnya luar biasa. Sejak itu setiap hari mereka bekerja memukuli tong sampah itu dengan penuh semangat.
Beberapa hari kemudian, pak Tua itu menghampiri dan menyambut pekerjaan mereka dengan penuh senyum. Namun kali ini senyumnya tampak agak sedih.
Katanya, “Nak, kalian tahu khan situasi krisis akhir-akhir ini membuat uang pensiun saya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
Ia menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak itu menunggu apa yang diucapkannya. Lanjut pak Tua. “Mulai hari ini saya hanya bisa membayar kalian lima ratus saja untuk tugas kalian memukuli tong sampah ini.”
Anak-anak itu tampak kecewa dengan keputusan pak Tua, namun mereka masih bisa menerimanya. Lalu mereka melanjutkan tugas mereka membuat keributan sepanjang hari.
Beberapa hari kemudian, pak Tua itu dengan wajah memelas mendekati anak-anak yang sedang memukuli tong sampah.
Katanya, “Maaf, bulan ini saya belum menerima kiriman uang pensiun. Saya hanya bisa memberi kalian bertiga seribu Rupiah saja.”
“Apa..? Seribu untuk bertiga?,” protes pemimpin pemain tong sampah itu. “Apa pak Tua kira kami ini mau menghabiskan waktu kami di sini hanya untuk uang segitu? Ah, yang benar saja! Pak Tua ini tidak masuk akal. Mulai hari ini kami tidak mau lagi melakukan tugas ini lagi. Kami keluar.”
Ketiga anak lelaki itu pergi meninggalkan pak Tua itu dengan bersungut-sungut. Dan, sejak hari itu pak Tua menikmati ketenangan hingga akhir hayatnya.
Begitulah bila kita mencampur-adukkan kegembiraan hati dengan materi. Seringkali kita kehilangan keceriaan hanya karena kita menganggap keceriaan itu adalah sebuah pekerjaan yang dibayar, maka bila bayarannya berkurang maka kesenangan pun jadi berkurang.
Jangan sampai kegembiraan anda menghilang di balik beberapa lembar uang belaka.

Secangkir Kopi

Sekelompok alumni Universitas Notre Dame, pergi bersama mengunjungi dosen mereka. Semuanya telah memiliki karir yang mapan. Pembicaraan segera beralih ke keluhan seputar hidup dan karir mereka.
Menawarkan kopi pada tamunya, sang dosen pergi ke dapur dan kembali dengan kopi satu teko penuh dan berbagai bentuk cangkir - porselin, plastik, gelas dan beberapa cangkir bagus, mahal dan berkelas. Kemudian, meminta mereka semua mengambil kopi sendiri.
Saat semua murid telah memegang masing-masing cangkir di tangannya, sang dosen berkata: “Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang tampak bagus dan mahal diambil, membiarkan cangkir lainnya yg jelek dan murahan. Jika selalu mengambil yang terbaik normal bagi kalian, itulah summber masalah dan stress kalian. Apa yang paling kalian inginkan adalah kopi, tetapi secara tak sadar kalian memilih cangkir yang terbaik dan melirik ke cangkir orang lain.”
“Sekarang, jika hidup adalah kopi, kemudian pekerjaan, uang dan posisi di masyarakat adalah cangkirnya. Itu adalah alat untuk memegang dan mengontrol hidup, namun kualitas hidup itu sendiri tidak akan berubah,” ujar sang dosen.
“Kadang-kadang, dengan konsentrasi hanya pada cangkirnya, kita sering lupa menikmati kopi yang ada di dalamnya.”

Kunjungan Tuhan

Pada minggu ini Conrad, pembuat sepatu, bangun sangat awal, membersihkan tokonya, kemudian kembali ke dalam rumahnya, menyalakan api di tungku dan menyiapkan meja. Dia tidak akan bekerja. Dia sedang menanti teman, seorang tamu khusus: Tuhan sendiri. Kemarin malam Tuhan datang padanya dalam suatu mimpi dan memberitahukan bahwa Dia akan datang bertamu besok.
Jadi Conrad duduk di ruangan yang nyaman dan menunggu, hatinya penuh dengan kegembiraan. Kemudian dia mendengar langkah kaki di luar dan ketukan pada pintu “Itu DIA, pikir Conrad, sambil lari ke arah pintu dan membukanya.
Ternyata itu hanyalah tukang pengantar surat. Wajahnya merah dan jari-jarinya biru kedinginan. Dia menatap sambil menelan ludah ke arah cerek teh di tungku. Conrad mempersilahkan dia duduk menghangatkan diri di dekat tungku. Kata pengantar surat itu, “Terima kasih, teh ini enak sekali. Kemudian dia menghilang di tengah hawa dingin di luar.
Ketika pengantar surat itu pergi, Conrad membersihkan meja lagi. Lalu dia duduk di dekat jendela untuk menanti kedatangan tamunya. Dia merasa yakin bahwa tamu itu akan datang.
Tiba-tiba dia melihat seorang anak laki-laki kecil yang sedang menangis. Conrad memanggilnya dan mengetahui bahwa anak itu kehilangan jejak ibunya di kota dan tidak tahu jalan untuk pulang. Kemudian, Conrad menulis pada secarik kertas dan meletakkannya di atas meja. Tulisan itu berbunyi, “Tunggulah saya. Saya akan kembali segera. Kemudian dia membiarkan pintu terbuka sedikit dan menggandeng anak kecil itu serta membawanya pulang.
Ternyata perjalanan itu lebih lama dari perkiraannya, bahkan hari sudah mulai agak gelap ketika dia kembali ke rumah. Dia terkejut mendapati seseorang ada di dalam rumahnya sambil memandang ke luar jendela. tapi lalu hatinya berdebar. Orang itu pastilah Tuhan, yang sudah berjanji untuk datang.
Namun Conrad mengenali bahwa orang itu adalah perempuan yang tinggal di tingkat atas dari flatnya. Perempuan itu tampak sedih dan lelah. Dia memberi tahu bahwa dia tak bisa tidur sama sekali sebab anak laki-lakinya Peter sedang sakit parah. Dia tidak tahu mau berbuat apa. Anak itu diam terbaring di sana, demamnya tinggi, dan dia tidak bisa lagi mengenali ibunya.
Conrad merasa ikut sedih. Perempuan itu hidup sendiri dengan anaknya di sana sejak suaminya meninggal dalam kecelakaan. Jadi dia ikut wanita itu. Mereka bersama-sama menyelimuti Peter dengan kain basah. Conrad duduk di tepi tempat tidur anak laki-laki itu, sementara ibunya beristirahat sejenak.
Ketika dia kembali ke ruangannya, hari sudah larut malam. Conrad sangat lelah dan sungguh kecewa ketika membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Hari sudah larut. Tuhan belum juga datang.
Tiba-tiba dia mendengar suara. Ternyata suara Tuhan yang berkata, “Terima kasih, karena menghangatkan tubuh saya di rumahmu hari ini. Terima kasih karena menunjukkan jalan ke rumah. Dan terima kasih atas dukungan dan bantuanmu. Conrad, saya berterima kasih karena hari ini saya bisa menjadi tamumu.

MENULIS DIATAS PASIR & BATU

Ini sebuah kisah tentang dua orang sahabat karib yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Ditengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar temannya.Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir: "HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENAMPAR PIPIKU" Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi. Orang yang pipinya kenatampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya. Ketika diamulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuahbatu: "HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU." Orang yang menolong dan menampar sahabatnya,bertanya,"Kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu ?" Temannya sambil tersenyum menjawab,"Ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas Pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin."Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut Pandang yang berbeda. Oleh karenanya cobalah untuk saling memaaf kan dan lupakan masalah lalu. Belajarlah menulis di atas pasir...........

Memilih Tamu

Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang ke rumah, dan ia melihat ada tiga orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua. Wanita itu berkata,”Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk menganjal perut.”
Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, “Apakah suamimu sudah pulang?” Wanita itu menjawab, “Belum, dia sedang keluar.” “Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali,” kata pria itu. Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, “Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini.”
Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam. “Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama,” kata pria itu hampir bersamaan. “Lho, kenapa?” tanya wanita itu karena merasa heran. Salah seorang pria itu berkata, “Nama dia Kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, dan “sedangkan yang ini bernama Kesuksesan”, sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. “Sedangkan aku sendiri bernama Cinta. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa di antara kami yang boleh masuk ke rumahmu.”
Wanita itu kembali masuk kedalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa heran. “Ohho… menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”
Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “Sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen gandum kita.” Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. “Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Cinta yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Cinta.”
Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. “Baiklah, ajak masuk si Cinta ini ke dalam. Dan malam ini, Si Cinta menjadi teman santap malam kita.”
Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. “Siapa di antara Anda yang bernama Cinta? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini.” Si Cinta bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si Kekayaan dan si Kesuksesan. “Aku hanya mengundang si Cinta yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?” Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan.
“Kalau Anda mengundang si kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si Cinta, maka, kemana pun Cinta pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Di ana ada Cinta, maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami buta. Dan hanya si Cinta yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan saat kami menjalani hidup ini.

Kuatnya Sebongkah Harapan

Dahulu, ada seorang pengusaha yang cukup berhasil di kota ini. Ketika
sang suami jatuh sakit, satu per satu pabrik mereka dijual. Harta
mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga mereka harus pindah
ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana. Sang suami pun
telah tiada.

Beberapa tahun kemudian, rumah makan itu pun harus berganti rupa
menjadi warung makan yang lebih kecil sebelah pasar.

Setelah lama tak mendengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang
istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di
alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenal
masa lalunya yang berkelimpahan. Namun, ia tak kehilangan senyumnya
yang tegar saat meladeni para pembeli.

Wahai ibu, bagaimana kau sedemikian kuat?
"Harapan nak! Jangan kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia
pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena
harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu kita tak kan sempat
memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Sekali kau kehilangan
harapan, kau kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia".



peace & love

Kisah Si Penebang Pohon

Alkisah, seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.

Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.

Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, "Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu".

Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. "Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku, bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?" pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, "Kapan terakhir kamu mengasah kapak?" "Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga". Kata si penebang.

"Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!" perintah sang majikan. Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak. Istirahat bukan berarti berhenti , Tetapi untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan selalu baru !

Kisah Sebotol Minyak

Seorang ibu menyuruh seorang anaknya membeli sebotol penuh minyak. Ia memberikan sebuah botol kosong dan uang sepuluh rupee. Kemudian anak itu pergi membeli apa yang diperintahkan ibunya. Dalam perjalanan pulang, ia terjatuh. Minyak yang ada di dalam botol itu tumpah hingga separuh. Ketika mengetahui botolnya kosong separuh, ia menemui ibunya dengan menangis, “Ooo… saya kehilangan minyak setengah botol! Saya kehilangan minyak setengah botol!” Ia sangat bersedih hati dan tidak bahagia. Tampaknya ia memandang kejadian itu secara negatif dan bersikap pesimis.
Kemudian, ibu itu menyuruh anaknya yang lain untuk membeli sebotol minyak. Ia memberikan sebuah botol dan uang sepuluh rupee lagi. Kemudian anaknya pergi.
Dalam perjalanan pulang, ia juga terjatuh. Dan separuh minyaknya tumpah. Ia memungut botol dan mendapati minyaknya tinggal separuh. Ia pulang dengan wajah berbahagia. Ia berkata pada ibunya, “Ooo… ibu saya tadi terjatuh. Botol ini pun terjatuh dan minyaknya tumpah. Bisa saja botol itu pecah dan minyaknya tumpah semua. Tapi, lihat, saya berhasil menyelamatkan separuh minyak.” Anak itu tidak bersedih hati, malah ia tampak berbahagia. Anak ini tampak bersikap optimis atas kejadian yang menimpanya.
Sekali lagi, ibu itu menyuruh anaknya yang lain untuk membeli sebotol minyak.
Ia memberikan sebuah botol dan uang sepuluh rupee. Anaknya yang ketiga pergi membeli minyak. Sekali lagi, anak itu terjatuh dan minyaknya tumpah. Ia memungut botol yang berisi minyak separuh dan mendatangi ibunya dengan sangat bahagia. Ia berkata, “Ibu, saya menyelamatkan separuh minyak.”
Tapi anaknya yang ketiga ini bukan hanya seorang anak yang optimis. Ia juga seorang anak yang realistis. Dia memahami bahwa separuh minyak telah tumpah, dan separuh minyak bisa diselamatkan. Maka dengan mantap ia berkata pada ibunya, “Ibu, aku akan pergi ke pasar untuk bekerja keras sepanjang hari agar bisa mendapatkan lima rupee untuk membeli minyak setengah botol yang tumpah. Sore nanti saya akan memenuhi botol itu.”
Kita bisa memandang hidup dengan kacamata buram, atau dengan kacamata yang terang. Namun, semua itu tidak bermanfaat jika kita tidak bersikap realistis dan mewujudkannya dalam bentuk KERJA.

Kisah Penata Batu

Pada suatu ketika hiduplah seorang penatah batu. Setiap hari ia pergi ke gunung-gunung untuk menatah batu. Meskipun ia adalah orang miskin, ia tidak menginginkan lebih daripada yang ia miliki sehingga ia tidak merisaukan dunia. Suatu hari ia dipanggil untuk bekerja pada suatu rumah besar seorang bangsawan. Ketika ia melihat keindahan rumah itu, ia berkata sambil menghela nafas panjang, “Seandainya saja saya kaya! Saya tidak harus mencari nafkah dengan susah payah dan mengeluarkan keringat seperti sekarang.”
Sekonyong-konyong terdengar suara, “Keinginanmu dikabulkan. Mulai sekarang keinginan apapun yang kaupunyai akan dikabulkan.” Ternyata itu benar. Ketika ia kembali ke pondoknya, ia menjumpai suatu rumah besar seindah rumah di mana ia bekerja selama ini. Maka ia berhenti bekerja sebagai penatah batu dan mulai menikmati hidup sebagai orang kaya.
Suatu hari ketika hawa sore begitu panas dan lembab, ia melihat keluar lewat jendela rumah dan melihat raja lewat. Ia berpikir, “Saya ingin menjadi raja, duduk dalam kereta kerajaan yang sejuk.” Keinginannya segera terkabul. Duduklah ia bersandar dalam kemewahan kereta kerajaan. Akan tetapi kereta itu lalu menjadi lebih panas daripada yang semula ia pikirkan. Ia melihat keluar melalui jendela kereta dan mulai kagum akan kekuatan matahari yang panasnya dapat menyusup masuk melalui badan kereta yang tebal itu.
“Saya ingin menjadi matahari,” katanya. Sekali lagi keinginannya dikabulkan.
Ia menjadi matahari.
Akan tetapi pada musim hujan, sang matahari itu berusaha untuk menerobos segumpal awan, namun tidak berhasil. Maka ia mengubah diri menjadi awan dan berjaya dalam kekuatannya menahan matahari — sampai ia berubah menjadi hujan dan berjumpa dengan karang yang menutup jalannya sehingga ia harus mengalir berputar mengelilingi karang itu. Ia terheran-heran.
“Apa ini?” serunya.
“Karang lebih kuat daripada saya? Kalau begitu saya ingin menjadi karang.
“Demikianlah terjadi, ia berdiri tegak menjulang di lereng gunung. Tetapi ia hampir tidak mempunyai kesempatan untuk bergembira sebagai karang. Ia mendengar suara memecah yang aneh yang berasal dari kakinya. Ia melihat ke bawah dan menjadi kecewa karena ia melihat seorang manusia kecil duduk di sana dan sedang bekerja menatah bongkah-bongkah batu dari kakinya.
“Apa ini?” teriaknya.
“Makhluk kecil seperti itu lebih kuat daripada karang perkasa seperti saya?
“Saya ingin menjadi manusia!” Demikianlah sekali lagi ia menjadi seorang penatah batu, mencari nafkah dengan susah payah dan bekerja dengan hati penuh senandung karena ia bahagia menjadi penatah batu seperti dulu dan hidup dengan apa yang ia miliki.

Kisah Dua Pasien

Di sebuah rumah sakit, di salah satu sudut kamar rawat-inap ada dua orang lelaki yang menderita sakit cukup parah, kedua orang tersebut hanya dipisahkan oleh pembatas tipis, sehingga mereka berdua bisa bercakap-cakap walau tidak bisa melihat satu dengan yang lain.
Salah seorang lelaki setiap 1 jam dalam sehari diizinkan duduk di dekat jendela, untuk membantu melonggarkan pernafasannya, sedangnya lelaki yang satu lagi tidak bisa bangun karena beberapa bagian tulang patah dan luka dalam yang cukup parah mengharuskan ia terus terbaring.
Pada permulaannya mereka bercakap-cakap, tentang pekerjaan, keluarga, kegemaran dan membicarakan apapun agar mereka tidak bosan.
Kemudian setiap siang, lelaki yang diizinkan duduk, menghadap jendela dan selalu bercerita apa saja yang bisa ia lihat di luar melalui satu-satunya jendela yang ada di ruang rawat-inap mereka tersebut.
Nampak dari jendela taman dengan kolam yang bersih dan luas dengan beberapa bebek di sekitarnya, ada beberapa anak-anak bermain kapal-kapalan, beberapa remaja bergandengan tangan, ada juga orang-orang tua yang nampak bercakap-cakap dan membaca buku di kursi-kursi sekitar taman.
Lelaki yang terbaring hanya mendengar dengan seksama dan sesedikit berkomentar untuk meramaikan suasana, kadang gelak tawa muncul dari dua orang yang sudah bosan dirawat terus menerus tersebut.
Suatu siang, terdengar parade band yang begitu jelas, riuh rendah, lelaki yang diizinkan duduk segera menghadap jendela dan bercerita begitu detilnya kepada temannya yang terbaring, sementara lelaki yang terbaring dengan gembira menyimak apa yang diceritakan temannya tersebut.
Hari berlalu, di suatu pagi, beberapa petugas rumah sakit masuk ke ruangan tersebut masuk lebih banyak daripada hari biasa, suara-suara roda ranjang yang didorong nampak jelas, beberapa saat kemudian keadaan sepi lagi, hanya ada seorang perawat yang seperti biasa membantu mengganti perban lelaki yang terbaring.
Perawat itu mengatakan sudah saatnya perban disekitar muka lelaki yang terbaring bisa dibuka dan bisa bertukar tempat karena ranjang yang satu lagi telah kosong, lelaki selalu terbaring begitu gembira, karena dengan begitu ia bisa melihat lagi, tidak perlu mendengar cerita dari temannya.
Begitu ia bisa melihat dekat jendela, ia terkejut, karena hanya cahaya siang dan tembok saja yang nampak dihadapan jendela, ia lalu berkeluh kesah bahwa selama ini ia dibohongi oleh teman sekamarnya.
Perawat itu hanya tersenyum dan mengatakan, ” mungkin dia hanya ingin membuat anda gembira dan bersemangat, teman kamar anda itu buta sejak ia dirawat di kamar ini dan sudah meninggal pagi tadi”.

Kisah Ayah Tentang Ayahnya

Tiga bulan sudah saya tak mengunjungi Ayah, walau dua hari sekali masih sering telepon langsung untuk mendengar suaranya atau sekadar SMS menanyakan kabar kesehatannya. Rindu, itu kata yang paling mewakili untuk menggambarkan perasaan saya padanya, mungkin juga yang dirasa Ayah disana. Diri ini selalu percaya, rindu yang tak pernah lekang dimakan waktu, yang tak pernah sirna dihempas angin, yang tak mungkin pupus diterik matahari adalah rindu orang tua terhadap anaknya. Rasa rindu yang belum pasti dimiliki anak terhadap orang tuanya.
Benarlah, sepuluh menit setelah bercengkerama dengan cucu-cucunya, Ayah menghampiri saya dan menanyakan kabar apa pun tentang saya, keluarga, pekerjaan, aktivitas sosial yang biasa saya geluti, sampai soal selokan di depan rumah yang kerap tergenang. Dan tak lama setelah saya menceritakan semua yang diingintahuinya itu, ganti ia yang bercerita tentang dirinya, kegiatan jalan paginya, HP baru hadiah dari abang saya yang baru pulang dari luar negeri, acara reuni dengan sahabat-sahabatnya semasa aktif di kantor dulu, hingga nyaris tak ada lagi yang bisa diceritakan. Ia, seolah tengah menemukan telinga selebar lautan yang siap menampung semua kisahnya, dan itu adalah telinga saya.
Tak terasa tiga jam lebih kami berbicara, pembicaraan yang begitu dekat, antara sesama hati yang merindu. Tapi dari semua yang diceritakannya, ada satu yang teramat menarik bagi saya, sepenggal kisah tentang masa kecilnya bersama Ayahnya. Bercerita Ayah tentang Ayahnya, saya memanggilnya Babah. Suatu sore, ia tengah bermain kelereng ketika Babah hendak memintanya membeli minyak tanah. Tahu anaknya tengah bermain, ia mengurungkan niatnya dan membiarkan anaknya terus bermain. Kemudian Babah hanya berpesan kepada salah seorang keponakannya, “bilangin si mbing kalau mainnya sudah selesai, Babah mau suruh dia beli minyak tanah”.
Mpok Mul, begitu Ayah memanggil kakak sepupunya itu pun menghampiri adiknya, “Mbing Babah bilang kalau mainnya sudah selesai tolong beliin minyak tanah”. Si anak pun bergegas menyudahi permainannya setelah meminta izin kepada teman-temannya.
Ayah menegaskan kalimat “kalau mainnya sudah selesai” dan itu berkali- kali diucapkannya dengan tegas untuk saya perhatikan. Menurutnya, Babah mengatakan itu ada maknanya, Ayahnya hanya ingin menyuruhnya membeli minyak tanah setelah ia memenuhi hak anak untuk bermain. Sebagai seorang Ayah, ia tak ingin mengganggu hak bermain anaknya, meski sebagian orang tua merasa berhak untuk meminta anaknya melakukan apa pun perintahnya tanpa boleh membantah.
Babah, kata Ayah, meski hanya lelaki lulusan sekolah rakyat kelas tiga -setingkat kelas tiga SD- sangat mengerti psikologi mendidik anak. Orang tua yang ingin dihormati haknya oleh anak semestinya juga menghormati hak anak, salah satunya adalah hak untuk bermain, karena bermain merupakan cara anak-anak untuk belajar bersosialisasi. Tugas orang tua hanya memberi tahu batas-batas dalam bermain, misalnya soal waktu, dan juga pekerjaan utama di rumah yang semestinya didahulukan sebelum bermain.
Ayah pun bertanya kepada saya, “bagaimana perasaan kamu kalau lagi main, dan kondisi kamu sedang kalah. Lalu Ayah memanggil kamu?” “Tidak ikhlas,” jawab saya. Ya, Babah tidak mau anaknya menjalankan perintahnya secara tidak ikhlas, dengan hati yang menggerutu, dengan dada yang disesaki rasa kesal. Sebaliknya, jika si anak sedang menang dan Ayahnya memanggil, siapa yang kesal? pastilah teman-teman anaknya, “Bapak lu brengsek, tahu anaknya lagi menang dipanggil”. Sudah pasti ada dua orang yang dirugikan, Ayah dan anaknya. Ayahnya dibilang ‘brengsek’, anaknya mungkin akan dikucilkan dalam permainan berikutnya.
Hmm, tiga jam tak kan pernah sia-sia untuk berbicara dengan Ayah. Ada banyak pelajaran baru yang bisa saya ambil dari kisah-kisahnya. Dan sudah pasti saya akan selalu merindui perjumpaan dengannya, sampai kapan pun. Terima kasih Ayah.

Kentang

Ada salah satu TK (taman kanak-kanak) di Australia, pada suatu hari guru TK tersebut mengadakan “permainan” menyuruh anak tiap-tiap muridnya membawa kantong plastik transparan 1 buah dan kentang.
Masing-masing kentang tersebut di beri nama berdasarkan nama orang yang di benci, sehingga jumlah kentangnya tidak di tentukan berapa…tergantung jumlah orang2 yg di benci. Pada hari yang disepakati masing2 murid membawa kentang dalam kantong plastik. Ada yang berjumlah 2, ada yang 3 bahkan ada yang 5.
Seperti perintah guru mereka tiap2 kentang di beri nama sesuai nama orang yang di benci. Murid2 harus membawa kantong plastik berisi kentang tersebut kemana saja mereka pergi bahkan ke toilet sekalipun selama 1 mingggu.
Hari berganti hari kentang2 pun mulai membusuk, murid2 mulai mengeluh, apalagi yang membawa 5 buah kentang, selain berat baunya juga tidak sedap.
Setelah 1 minggu murid2 TK tersebut merasa lega karena penderitaan mereka akan segera berakhir.
Guru: “Bagaimana rasanya membawa kentang selama 1 minggu?”
Keluarlah keluhan dari murid2 TK tersebut, pada umumnya mereka tidak merasa nyaman harus membawa kentang2 busuk tersebut kemanapun mereka pergi. Guru pun menjelaskan apa arti dari “permainan” yang mereka lakukan.
Guru: “Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain.” Sungguh sangat tidak menyenangkan membawa kentang busuk kemanapun kita pergi.Itu hanya 1 minggu bagaimana jika kita membawa kebencian itu seumur hidup? Alangkah tidak nyamannya…..”

Kekuatan Tanpa Kekerasan

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh dipedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.
Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, “Ayah tunggu kau disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.” Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya.
Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.
Dengan gelisah ayah menanyai saya, “Kenapa kau terlambat?”
Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, “Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.” Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong.
Lalu ayah berkata, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”
Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saya tidak pernah akan berbohong lagi.
Seringkali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa-kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin.
Itulah kekuatan tanpa-kekerasan.
Dr. Arun Gandhi adalah cucu Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K.Gandhi untuk Tanpa-Kekerasan
Pada tanggal 9 Juni ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico dan bercerita bagaimana memberikan contoh tanpa-kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga.

JIka Saya Memegangnya 1 Menit

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Steven Covey
mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya:

"Seberapa berat menurut anda kira segelas air ini?" Para siswa menjawab
mulai dari 200 gr sampai 500 gr.

"Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama
anda memegangnya." kata Covey.


"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya
memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya
memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans
untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya
memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."

"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak
akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut
Covey.

"Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut,
istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi".

Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat
lebih segar dan mampu membawanya lagi. Jadi sebelum pulang ke rumah dari
pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang.
Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada di pundak anda
hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti
dapat diambil lagi......

Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya. Hal
terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi
dapat dirasakan jauh di relung hati kita.

Jangan Pernah Berhenti Berbuat Baik

Dia hampir saja tidak melihat wanita tua yang berdiri di pinggir jalan itu, tetapi dalam cahaya berkabut ia dapat melihat bahwa wanita tua itu membutuhkan pertolongan. Lalu ia menghentikan mobil Pontiacnya di depan mobil Mercedes wanita tua itu, lalu ia keluar dan menghampirinya. Walaupun dengan wajah tersenyum wanita tua itu tetap merasa khawatir, karena setelah menunggu beberapa jam tidak ada seorang pun yang menolongnya. Apakah lelaki itu bermaksud menyakitinya? Lelaki tersebut penampilanya tidak terlalu baik, ia kelihatan begitu memprihatinkan. Wanita tua itu dapat merasakan kalau dirinya begitu ketakutan, berdiri sendirian dalam cuaca yang begitu dingin, sepertinya lelaki tersebut tahu apa yang ia pikirkan. Lelaki itu berkata "Saya kemari untuk membantu anda bu, kenapa anda tidak menunggu di dalam mobil bukankah di sana lebih hangat? oh ya nama saya Bryan ..."
Yach memang dia sudah terlalu lelah apalagi untuk wanita setua dirinya, hal ini benar-benar terasa berat. Bryan masuk kedalam kolong mobil wanita tua itu untuk memperbaiki yang rusak. Akhirnya ia selesai, tetapi dia kelihatan begitu kotor dan lelah, wanita tua itu membuka kaca jendela mobilnya dan berbicara kepadanya. Ia berkata bahwa ia dari St Louis dan kebetulan lewat jalan ini. Dia merasa tidak cukup kalau hanya mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. Wanita tua itu berkata berapa yang harus ia bayar, berapapun jumlahnya yang ia minta tidak menjadi masalah, karena ia membayangkan apa yang akan terjadi jika lelaki tersebut tidak menolongnya. Bryan hanya tersenyum. Bryan tidak mengatakan berapa jumlah yang harus dibayar, karena baginya menolong orang bukanlah suatu pekerjaan. Ia yakin apabila menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan tanpa suatu imbalan suatu hari nanti Tuhan pasti akan membalas amal perbuatanya. Ia berkata kepada wanita tua itu : "Bila dirimu benar-benar ingin membalas jasanya, suatu saat nanti apabila melihat seseorang yang membutuhkan pertolongan maka tolonglah orang tersebut ... dan ingatlah pada saya" .
Bryan menunggu sampai wanita tua itu menstater mobilnya dan menghilang dari pandangan. Setelah berjalan beberapa mil wanita tua itu melihat kafe kecil, lalu ia mampir kesana untuk makan dan beristirahat sebentar. Seorang pelayan wanita datang dan memberikan handuk bersih untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Wanita tua itu memperhatikan bahwa sang pelayan sedang hamil, dan ia masih begitu muda. Lalu ia teringat kepada Bryan.. Setelah wanita tua itu selesai makan dan sang pelayan sedang mengambil kembalian untuknya, wanita tua itu pergi keluar secara diam-diam. Setelah kepergiannya sang pelayan kembali, pelayan itu bingung kemana wanita tua itu pergi, lalu ia menemukan secarik kertas di atas meja dan uang $1000. Ia begitu terharu setelah membaca apa yang ditulis oleh wanita tua itu : "Kamu tidak berhutang apapun pada saya karena seseorang telah menolong saya, oleh karena itulah saya menolong kamu, maka inilah yang harus kamu lakukan : "Jangan pernah berhenti untuk memberikan cinta dan kasih sayang".
Malam ketika ia pulang dan pergi tidur, ia berfikir mengenai uang dan apa yang ditulis oleh wanita tua itu. Bagaimana wanita itu bisa tahu kalau ia dan suaminya sangat membutuhkan uang untuk menanti kelahiran bayinya? Ia tahu bagaimana suaminya sangat risau mengenai hal ini, lalu ia memeluk suaminya yang terbaring disebelahnya dan memberikan kecupan yang lembut sambil berbisik : "Semuanya akan baik-baik saja, I Love You Bryan". Segala sesuatu yang berputar akan selalu berputar. Namun ingatlah satu hal : "Jangan pernah berhenti untuk berbuat baik"

Hidup adalah...

Hidup adalah masalah pilihan.
Memilih untuk bahagia atau untuk sengsara. Memilih untuk dipulihkan atau untuk menyimpan kepahitan. Memilih untuk mengampuni atau untuk mendendam.
Hidup adalah masalah pilihan.
Kebahagiaan semu bisa anda dapatkan, yang sejati tak jauh dari jangkauan. Cinta kasih juga bisa anda miliki, namun dendam dan amarah juga bisa anda alami.
Persahabatan nan indah bukan impian, pengkhianatan dan kepahitan mungkin anda dapati.
Hidup adalah masalah pilihan.
Mengenai bagaimana anda menjalani hidup. Mengenai bagaimana anda menghabiskan seluruh waktu. Mengenai bagaimana anda mencapai impian. Dan mengenai bagaimana anda memandang kehidupan.
Ada orang yang menganggap kehidupan sebagai angin yang berhembus. Banyak yang datang dan yang pergi. Tak dapat ditebak, dan tak dapat diselami.
Ada pula yang menganggap kehidupan sebagai medan peperangan.Dimana ia harus berjuang tanpa henti. Tanpa kedamaian di hati.
Sementara yang lain menganggap kehidupan sebagai kutuk dari Yang Mahakuasa. Hidup tak lagi berarti bagi dirinya. Ratap tak pernah jauh dari mulutnya. Air mata mengalir siang dan malam, sebab hanyalah duka nestapa yang ada.
Namun…
Orang yang berbahagia menganggap kehidupan sebagai suatu emas yang mulia. Harta nan sangat berharga. Anugrah Ilahi yang tak tertandingi.
Dijalaninya hidup, dengan asa dan impian. Berjalan dalam jalan Sang Pencipta. Berserah sepenuhnya. Melangkah setapak demi setapak. Sampai didapatinya mahkota kemuliannya.
Hidup adalah masalah pilihan. Yang manakah yang kita pilih? Tanyalah pada diri kita sendiri.
Dan jalanilah hidup kita…..

Hidup adalah Pilihan

Ada 2 buah bibit tanaman yang terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit yang pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku dalam-dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku.”
Dan bibit itu tumbuh, makin menjulang.
Bibit yang kedua bergumam. “Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman.”
Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.
Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi, dan mencaploknya segera.

Cinta Kasih

Mungkinkah kita manusia di dunia ini su­dah kehilangan api cinta kasih! Kita mengorek-orek abunya dan mengejar-ngejar asapnya belaka. Kita rindu akan cinta kasih, ingin semua manusia di dunia ini, ingin seluruh isi mayapada ini, ingin para dewata, malaikat dan Tuhan, mencinta kita! Kita haus akan cinta kasih karena di dalam diri kita kehilangan cinta kasih itu! Kita mencari-cari dan mengejar-ngejar melalui kebak­tian, kewajiban, menjadi orang baik, memuja-muja dan sebagainya lagi. Akan tetapi yang kita kejar-kejar itu hanyalah asapnya. Cinta kasih tak mungkin dike­jar-kejar, tak mungkin dapat diusahakan supaya ada, tak mungkin dapat dikuasai dan diikat, tak mungkin dapat dilatih seperti pengetahuan mati! Cinta kasih datang dengan sendirinya kalau batin kita terbuka, peka dan kosong, dalam arti kata bersih dari pada segala keinginan dan perasaan si-aku, yaitu keinginan untuk senang dan perasaan-perasaan iri, benci, marah, takut dan sebagainya. Kita tidak mungkin memiliki batin yang peka dan “terbuka” kalau masih ada kotoran-kotoran dari si-aku, yaitu pikiran yang selalu menjangkau, mencari, mengejar dan menginginkan segala sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, lahir maupun batin. Barulah kalau batin kita sudah penuh dengan sinar cinta kasih, segala perbuatan kita adalah benar, tidak pura-pura, tidak palsu, tanpa pamrih, wajar dan bersih seperti keadaan anak kecilyang belum dikuasai oleh aku-nya. Ada yang berkata “tidak mungkin itu!” Nah, siapakah yang berkata demi­kian itu? Mari kita lihat baik-baik. Bu­kankah yang berkata itu adalah sang aku yang ingin baik, ingin dipenuhi cinta kasih, kemudian melihat bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa segalanya yang di­anggapnya menyenangkan itu? Kita dapat mengamati ulah tingkah si-aku ini setiap saat dalam diri kita sendiri, dan ini merupakan langkah pertama ke arah kebijaksanaan.

(dikutip dari : Cersil Suling Emas & Naga Siluman)

Bahagia


Apakah bahagia itu? Bagaimanakah kita dapat berbahagia? Kebahagiaan! Sebuah kata ini kiranya dikenal oleh setiap orang manu­sia di dunia ini, dikenal dan dirindukan, dicari dan dikejar-kejar selama kita hi­dup. Betapa kita semua, masing-masing dari kita, selalu mendambakan kebahagia­an dalam kehidupan kita. Kata “kebahagiaan” sudah menjadi kabur, bahkan seringkali, hampir selalu malah, tempatnya diduduki oleh sesuatu yang sesungguhnya bukan lain adalah kesenangan. atau kepuasan belaka. Kalau kita memperoleh sesuatu yang kita ha­rap-harapkan, maka kita mengira bahwa kita berbahagia! Benarkah itu? Ataukah yang terasa nyaman di hati itu hanyalah kesenangan yang timbul karena kepuasan belaka, karena terpenuhinya sesuatu yang kita harap-harapkan, atau inginkan? Dan kepuasan hanya merupakan wajah yang lain dari kekecewaan belaka. Kepuasan hanya selewat, dan sebentar kemudian rasa nikmat dan nyaman karena kepuasan ini pun akan lewat dan lenyap, mungkin terganti oleh kekecewaan yang selalu bergandeng tangan dengan kebalikannya itu. Kepuasan dan kekecewaan, seperti juga kesenangan dan kesusahan saling isi mengisi, saling bergandeng tangan dan selalu bergandengan karena memang me­rupakan si kembar yang mungkin berbeda rupa. Di mana ada kepuasan, tentu ada kekecewaan. Di mana ada kesenangan, tentu ada kesusahan. Orang yang mengejar kesenangan, tak dapat tiada akan bersua dengan kesusahan, siapa mengejar kepuasan, tak dapat tiada akan bertemu dengan kekecewaan. Kebahagiaan berada di atas, jauh di atas jangkauan atau pengaruh senang dan susah, puas dan kecewa. Kebahagiaan tak mungkin dijangkau atau dikejar, kebahagiaan tak mungkin digambarkan. Se­nang dan susah adalah permainan pikiran, terikat oleh waktu dan bersumber kepada Si Aku. Si Aku ini sudah tentu terombang-ambing antara senang dan susah karena Si Aku itu, selalu penuh dengan keinginan dan sudah barang tentu tidak mungkin segala keinginan yang tiada habisnya itu selalu terpenuhi, maka ter­jadilah puas dan kecewa. Bahkan kalau keinginan sudah terpenuhi sekalipun, me­nimbulkan hal-hal lain. Yaitu menimbul­kan kekhawatiran kalau-kalau kita kehi­langan sesuatu yang sudah kita miliki itu, dan menimbulkan pengikatan diri kepada sesuatu yang menyenangkan itu sehingga kalau kita kehilangan, timbullah duka. Kebahagiaan tidak mungkin dapat di­miliki, tidak dapat diperoleh deqgan usahadan daya upaya, tidak mungkin dapat ditimbun. Kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan pikiran yang selalu menge­jar kesenangan! Kebahagiaan tidak mung­kin ada selama masih ada Si Aku yang ingin senang! Kebahagiaan baru ada di mana ada cinta kasih. Kita selalu penuh oleh Si Aku yang selalu mengejar kesenangan dan yang se­lalu hendak menjauhi kesusahan. Sedikit saja kita dijauhi kesenangan, kita lalu mengeluh dan merasa sengsara. Kebaha­giaan bukan hal yang dapat dikhayalkan. Kita selalu mencari-cari yang tidak ada sehingga mana mungkin kita menikmati yang ada? Mana mungkin kita dapat melihat keindahan SINI kalau mata kita selalu mencari-cari dan memandang SANA saja? Pernahkah kita menikmati kesehatan? Pernahkah dalam keadaan badan sehat kita pergi keluar kamar menghirup udara sejuk dan memandang awan berarak di angkasa? Tidak, kita selalu sibuk dengan sesuatu, pikiran selalu penuh dengan persoalan. Kita selalu ingin ini ingin itu sehingga mata kita seperti buta terhadap segala keindahan yang terbentang luas di sekeliling kita. Pernahkah kita pada wak­tu subuh pergi berjalan-jalan, melihat suasana ketika matahari mulai timbul? Pernahkah di waktu senja kita melihat suasana ketika matahari tenggelam, be­tapa indahnya angkasa? Pernahkah kita menerawang bintang-bintang di malam hari yang cerah? Tidak pernah! Pikiran kita, siang-malam, sibuk mencari uang, mencari kesenangan, mencari ini dan itu, tanpa ada hentinya. Kita tidak pernah menikmati kesehatan, akan tetapi kita selalu mengeluh kalau tidak sehat! Kita tidak pernah “merasa­kan” keadaan yang berbahagia. Kita bah­kan tidak sadar lagi di waktu kita sehat, tidak dapat merasakan betapa nikmatnya kesehatan, akan tetapi kita amat mem­perhatikan di waktu kita tidak sehat, mengeluh dan mengaduh. Dalam keadaan menderita sakit, kita mengeluh dan mem­bayangkan betapa akan bahagianya kalau kita sembuh, kalau kita sehat. Akan tetapi bagaimana kalau kita sudah sehat? Pikiran penuh dengan keinginan laln dan “ingin sehat” tadi pun sudah terlupa, “bahagia karena sehat” pun sudah terlupa dan kita tidak lagi menikmati keadaan sehat itu! Demikianlah selalu. Pikiran menjauhkan kebahagiaan. Pikiran selalu mengeluh setiap saat, merasa tidak ber­bahagia, atau kalau tiada sesuatu yang dikeluhkan, pikiran mencari-cari sesuatu yang DIANGGAP lebih menyenangkan, lebih enak. Tentu saja kita tidak pernah dapat menikmati bahagia kalau pikiran selalu mengejar kesenangan yang berada di masa depan. Bahagia adalah saat demi saat, bahagia adalah sekarang ini, tapi pikiran selalu penuh dengan kesenangan lalu, penuh dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masa depan. Pernahkah Anda berdiri di dalam cahaya matahari pagi, di tempat terbuka yang cerah, yang berhawa hangat nya­man? Memandang ke sekeliling tanpa ada Si Aku yang ingin senang? Cobalah sekali-kali. Waspada membuat kita tidak me­ngeluh, melainkan bertindak tepat meng­hadapi segala hal yang terjadi. Pikiran atau Si Aku selalu membentuk iba diri dan keluhan. mengapa kita tidak pernah mau membuka mata melihat kenyataan bahwa segala macam bentuk KESENANGAN itu selalu akan menimbulkan KEBOSANAN? Dapat­kah kita hidup tidak menjadi hamba naf­su kita sendiri yang selalu mengejar-ngejar kesenangan? Dapatkah? Kita sen­diri yang harus menyelidiki drin men­jawab pertanyaan kita ini kepada diri sendiri, dengan PENGHAYATAN dalam kehidupan, bukan teori-teori usang. Se­tiap hal dapat saja merupakan berkah, tapi dapat juga menjadi kutukan, setiap hal yang menimpa kita bisa saja menjadi sesuatu yang menyenangkan atau menyu­sahkan, akan tetapi penilaian itu hanya­lah pekerjaan pikiran atau Si Aku! Ke­bahagiaan berada di atas dari semua itu, tak dapat terjangkau oleh pikiran, seperti juga cinta kasih!


(dikutip dari : Cersil Suling Emas & Naga Siluman)