"Kami berdua adalah
sahabat-sahabat baik si hwesio tua. Pinto (aku) disebut Tee Kui Lojin
(Si Tua Setan Bumi) dan saudaraku ini Thian Kui Lojin (Si Tua Setan
Langit). Karena sudah lama tidak berjumpa dengan Pek Hong San-jin, malam
ini kami datang berkunjung, siapa tahu dia seenaknya meninggalkan kami
untuk bersenang-senang! Ha-ha-ha! Si Tua yang licik, meninggalkan kami
disarang kepalsuan dan kesengsaraan ini!"
Tiong Li mengerutkan alisnya.
"Maaf, lo-cian-pwe. Saya kira siapa ji-wi ini tidak sepantasnya. Saya sedang menangis, berduka dan berkabung, akan tetapi jiwi datang bersenang dan tertawa-tawa. Dan ji-wi masih mengaku sebagai sahabat-sahabat baik suhu!"
"Ha-ha ha-ha!" Tee Kui Lojin tertawa geli seolah ucapan pemuda itu terdengar lucu sekali. "Kami memang sahabat baik dan kami amat menghormati dan sayang kepada si hwesio tua."
"Lebih tidak masuk diakal lagi !" bantah Tiong Li. "Kalau ji-wi menghormati dan sayang kepada suhu, mengapa tertawa melihat kematiannya?"
"Ha-ha, anak muda. Justeru karena kami sayang kepada suhumu, maka kami bersenang-senang melihat dia meninggalkan dunia.."
"Tidak masuk akal!" bantah Tiong li. "Bagaimana mungkin orang dapat bersenang-senang di tinggal mati orang yang disayangnya ? Saya menyayang suhu, dan ketika suhu meninggal saya merasa berduka sekali ! "
"Hemm, orang muda, engkau murid Pek Hong San-jin? Kenapa begini bodoh!"
Sekarang si jangkung Thian Kui Lojin berkata, mencela.
"Kenapa pandanganmu masih sepicik itu? Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, kalau engkau memang sayang kepada suhumu, mengapa setelah dia mati engkau tangisi dia. Mengapa?"
"Tentu seja, lo-cian-pwe, saya kehilangan suhu yang saya sayang dan mati. "
"Hemm, jadi engkau menangisi dirimu sendiri, ya? Engkau menangis karna merasa kasihan kepada dirimu sendiri yang ditinggalkan orang yang kau sayang ? Berarti engkau sama sekali tidak menangisi gurumu ! Dan pula, mengapa kematian ditangisi? Kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan suhumu, kenapa ditangisi? Yang jelas sekali, dia telah terbebas dari siksa hidup, dari penyakit, dari permusuhan, dari kepalsuan dan segala macam kemunafikan dunia.. Kenapa ditangisi? "
Tiong Li terbelalak dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Tentu saja suhunya pernah bicara tentang kematian ini, dan diapun kini manyadari båhwa dia tadi menangis karena duka mengingat akan keadaan dirinya sendiri, sama sekali--bukan menangisi gurunya!. Bagaimana dia dapat menangisi nasib gurunya kalau dia tidak tahu apa yang dialami gurunya setelah kematiannya?
"Saya menangisi suhu, menangisi kematiannya yang amat menyedihkan. Dia tewas karena dibunuh oleh dua orang jahat. Apakah hal itu tidak menyedihkan?" bantahnya untuk memberi alasan tangisnya tadi.
Api masih berkobar-kobar membakar pondok dan Jenazah yang berada di dalamnya.
Kini Tee Kui Lojin yang bicara "Ha ha, kau berduka karena permainan pikiran dan perasaanmu sendiri. Kematian itu sudah merupakan garis yang tidak dapat diuboh oleh siapaun juga. Kalau saat kematian sudah tiba, biar engkau bersembunyi dilubang semut, maut akan tetap datang menjemput. Sebaliknya kalau saat kematian belum mestinya tiba, biar engkau diancam seribu ujung tombak, engkau akan tetap dapat mengelak. Kematian gurumu sudah garis, tidak dapat dielakkan lagi, seperti kematian yang datang pada setiap orang hidup di dunia ini . Adapun cara kematian itu yang merupakan penyebab kematian adalah buah karma. Roda karma pasti datang berputar dan pada saatnya akibat akan menyusul sebabnya. Usaha kita satu-satunya untuk menanam karma baik hanyalah dengan perbuatan baik yang tanpa pamrih."
"Perbuatan yang baik itu yang bagaimana, lo-cian-pwe?"
Tiong Li memancing karena dia tertarik sekali. Dari mendiang suhunya diapun sudah banyak mendapatkan wejangan tentang ini, akan tetapi cara mengungkapkan kedua orang kakek aneh ini agak berbeda walaupun intinya sama, maka dia ingin sekali mendengarnya.
"Ha-ha-ha, engkau anak yang cerdik, pantas untuk mendengar penjelasan tentang itu agar kelak tidak akan tersesat. Perbuatan baik itu adalah perbuatan yang bermanfaat dan mendatangkan kesenangan bagi orang lain. Ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja dan berpamrih. Perbuatan baik" seperti ini buahnya sudah langsung diterima sesuai dengan pamrihnya. Kesenangan atau pujian yang didapatkan karena perbuatan baik itu sudah menjadi buah yang langsung dipetik dan dinikmatinya sehingga sudah lunas. Akan tetapi perbuatan baik kedua adalah perbuatan yang tidak disengaja, bahkan tidak diketahuinya bahwa itu perbuatan baik, melainkan perbuatan yang timbul dari hati yang penuh belas kasih dan karena tidak disengaja atau diketahui bahwa perbuatan itu baik maka pelakunya tidak berpamrih dan tidak mengharapkan apapun. Nah, perbuatan seperti inilah yang masuk catatan karma dan mungkin buahnya diterima kemudian, cepat atau lambat. Perbuatan-perbuatan yang timbul dari hati penuh belas kasih inilah yang memupuk karma baik. Mengertilah engkau, eh, siapa namamu, orang muda?"
"Terima kasih atas semua penjelasan itu, lo-cian-pwe. Nama saya adalah Tan Tiong Li dan saya telah menjadi murid suhu semenjak saya berusia lima tahun, sudah sepuluh tahun ini."
[ Dikutip dari cersil: Mestika Golok Naga ]
Tiong Li mengerutkan alisnya.
"Maaf, lo-cian-pwe. Saya kira siapa ji-wi ini tidak sepantasnya. Saya sedang menangis, berduka dan berkabung, akan tetapi jiwi datang bersenang dan tertawa-tawa. Dan ji-wi masih mengaku sebagai sahabat-sahabat baik suhu!"
"Ha-ha ha-ha!" Tee Kui Lojin tertawa geli seolah ucapan pemuda itu terdengar lucu sekali. "Kami memang sahabat baik dan kami amat menghormati dan sayang kepada si hwesio tua."
"Lebih tidak masuk diakal lagi !" bantah Tiong Li. "Kalau ji-wi menghormati dan sayang kepada suhu, mengapa tertawa melihat kematiannya?"
"Ha-ha, anak muda. Justeru karena kami sayang kepada suhumu, maka kami bersenang-senang melihat dia meninggalkan dunia.."
"Tidak masuk akal!" bantah Tiong li. "Bagaimana mungkin orang dapat bersenang-senang di tinggal mati orang yang disayangnya ? Saya menyayang suhu, dan ketika suhu meninggal saya merasa berduka sekali ! "
"Hemm, orang muda, engkau murid Pek Hong San-jin? Kenapa begini bodoh!"
Sekarang si jangkung Thian Kui Lojin berkata, mencela.
"Kenapa pandanganmu masih sepicik itu? Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, kalau engkau memang sayang kepada suhumu, mengapa setelah dia mati engkau tangisi dia. Mengapa?"
"Tentu seja, lo-cian-pwe, saya kehilangan suhu yang saya sayang dan mati. "
"Hemm, jadi engkau menangisi dirimu sendiri, ya? Engkau menangis karna merasa kasihan kepada dirimu sendiri yang ditinggalkan orang yang kau sayang ? Berarti engkau sama sekali tidak menangisi gurumu ! Dan pula, mengapa kematian ditangisi? Kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan suhumu, kenapa ditangisi? Yang jelas sekali, dia telah terbebas dari siksa hidup, dari penyakit, dari permusuhan, dari kepalsuan dan segala macam kemunafikan dunia.. Kenapa ditangisi? "
Tiong Li terbelalak dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Tentu saja suhunya pernah bicara tentang kematian ini, dan diapun kini manyadari båhwa dia tadi menangis karena duka mengingat akan keadaan dirinya sendiri, sama sekali--bukan menangisi gurunya!. Bagaimana dia dapat menangisi nasib gurunya kalau dia tidak tahu apa yang dialami gurunya setelah kematiannya?
"Saya menangisi suhu, menangisi kematiannya yang amat menyedihkan. Dia tewas karena dibunuh oleh dua orang jahat. Apakah hal itu tidak menyedihkan?" bantahnya untuk memberi alasan tangisnya tadi.
Api masih berkobar-kobar membakar pondok dan Jenazah yang berada di dalamnya.
Kini Tee Kui Lojin yang bicara "Ha ha, kau berduka karena permainan pikiran dan perasaanmu sendiri. Kematian itu sudah merupakan garis yang tidak dapat diuboh oleh siapaun juga. Kalau saat kematian sudah tiba, biar engkau bersembunyi dilubang semut, maut akan tetap datang menjemput. Sebaliknya kalau saat kematian belum mestinya tiba, biar engkau diancam seribu ujung tombak, engkau akan tetap dapat mengelak. Kematian gurumu sudah garis, tidak dapat dielakkan lagi, seperti kematian yang datang pada setiap orang hidup di dunia ini . Adapun cara kematian itu yang merupakan penyebab kematian adalah buah karma. Roda karma pasti datang berputar dan pada saatnya akibat akan menyusul sebabnya. Usaha kita satu-satunya untuk menanam karma baik hanyalah dengan perbuatan baik yang tanpa pamrih."
"Perbuatan yang baik itu yang bagaimana, lo-cian-pwe?"
Tiong Li memancing karena dia tertarik sekali. Dari mendiang suhunya diapun sudah banyak mendapatkan wejangan tentang ini, akan tetapi cara mengungkapkan kedua orang kakek aneh ini agak berbeda walaupun intinya sama, maka dia ingin sekali mendengarnya.
"Ha-ha-ha, engkau anak yang cerdik, pantas untuk mendengar penjelasan tentang itu agar kelak tidak akan tersesat. Perbuatan baik itu adalah perbuatan yang bermanfaat dan mendatangkan kesenangan bagi orang lain. Ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja dan berpamrih. Perbuatan baik" seperti ini buahnya sudah langsung diterima sesuai dengan pamrihnya. Kesenangan atau pujian yang didapatkan karena perbuatan baik itu sudah menjadi buah yang langsung dipetik dan dinikmatinya sehingga sudah lunas. Akan tetapi perbuatan baik kedua adalah perbuatan yang tidak disengaja, bahkan tidak diketahuinya bahwa itu perbuatan baik, melainkan perbuatan yang timbul dari hati yang penuh belas kasih dan karena tidak disengaja atau diketahui bahwa perbuatan itu baik maka pelakunya tidak berpamrih dan tidak mengharapkan apapun. Nah, perbuatan seperti inilah yang masuk catatan karma dan mungkin buahnya diterima kemudian, cepat atau lambat. Perbuatan-perbuatan yang timbul dari hati penuh belas kasih inilah yang memupuk karma baik. Mengertilah engkau, eh, siapa namamu, orang muda?"
"Terima kasih atas semua penjelasan itu, lo-cian-pwe. Nama saya adalah Tan Tiong Li dan saya telah menjadi murid suhu semenjak saya berusia lima tahun, sudah sepuluh tahun ini."
[ Dikutip dari cersil: Mestika Golok Naga ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar