"Ha..ha..ha..ha, sepatutnya engkau bersyukur karena telah merasakan banyak kekecewaan dan kepahitan. Itulah pengalaman terbaik dalam kehidupan ini. Bagaikan orang berlayar di samudera, betapa akan menjemukan kalau lautan itu selalu tenang saja, tak pernah bergelombang. Justeru
menempuh gelombang itulah yang membuat kita sadar bahwa kita ini
hidup! Engkau harus berani menghadapinya dan mengatasinya. Jangan
sembunyi dalam kecengengan. Manusia hidup matang dalam tempaan
pengalaman hidup yang serba pahit. Orang akan menjadi besar oleh
gemblengan kepahitan hidup, sebaliknya orang akan menjadi dungu dan
malas oleh maboknya kemanisan hidup. Kesusahan dan keprihatinan membuat
orang bijaksana, sebaliknya kesenangan dan kemakmuran membuat orang
menjadi tumpul dan lengah."
Sin Wan menghela
napas panjang. "Teecu mengerti apa yang suhu maksudkan. Akan tetapi,
suhu, bagaimana teecu tidak akan bersedih? Antara teecu dan sumoi telah
terjalin hubungan batin yang amat akrab, kami saling mencinta dan
sekarang hubungan itu putus begitu saja. Teecu merasa seperti sehelai daun kering yang rontok, terjatuh ke dalam air, terbawa arus air tanpa daya .......”.
Kembali
kakek itu tertawa bergelak. "Ha..ha..ha..ha, ucapanmu itu membikin
malu guru-gurumu yang telah menggemblengmu, Sin Wan. Menjadi daun
kering membusuk terbawa arus air sungai. Phuah! Pendekar macam
apa ini? Berkeluh kesah, menangis .dan cengeng! Duka itu hanya
permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah dicengkeram nafsu
hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu selalu mengejar kesenangan, selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan itu tersembunyi di mana mana, kadang mengenakan jubah bersih, seperti musang berbulu ayam.
Nafsu
mendorong kita untuk menonjolkan diri dan penonjolan diri inipun bukan
lain hanyalah kesenangan. Kita menginginkan kekayaan, kedudukan,
kepandaian, kemasyhuran melalui perbuatan baik atau melalui karya-karya
mengagumkan, semua itupun menjadi tempat persembunyian kesenangan. Dan kalau pengejaran kesenangan itu gagal, maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa duka.
Engkau merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu dengan sumoimu,
merasakan kesenangan dalam hubungan baikmu dengan Bu Lee Ki si jembel
tua itu. Ketika mereka memisahkan diri menjauhimu, engkau kehilangan
kesenangan itu dan menjadi kecewa, iba diri dan berduka. Engkau menyiksa
diri dan menjadi cengeng dan itu suatu perbuatan yang sama sekali
keliru."
"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi, teecu tidak
dapat membohongi diri sendiri. Hati teecu memang terasa nyeri dan perih,
bagaimana teecu dapat melenyapkannya? Apakah teecu narus
memaksa diri untuk menghilangkan duka ini yang amat menyiksa? Harus
menekan perasaan dan melupakan semua kenangan lama?"
"Sin Wan, tidak
ada hubungannya sama sekali antara peristiwa yang terjadi di luar diri
dengan keadaan batin yang berduka. Peristiwa itu suatu kenyataan,
suatu kejadian yang wajar saja sebagai akibat dari suatu sebab
tertentu. Adapun duka di hati itu adalah karena ulah nafsu dalam
pikiran sendiri. Suatu peristiwa terjadi. Titik. Apakah hal itu
menimbulkan duka atau tidak, tergantung dari cara engkau menerima dan
menghadapinya! Kalau engkau kini hendak berusaha melenyapkan
duka itu, coba renungkan, siapakah engkau yang kini hendak
menghilangkan duka? Bukankah itu juga engkau yang berduka sekarang ini?
Keinginan untuk tidak berduka sama saja dengan si duka itu sendiri.
Setelah melihat bahwa duka mendatangKan kesengsaraan, maka pikiran kini
mencari jalan untuk melepaskan diri dari ketidak senangan itu, tentu
saja agar menjadi senang! Engkau terseret dalam lingkaran setan kalau
begitu, Sin Wan."
Pemuda itu tertegun. Bingung. "Lalu, apa yang harus teecu lakukan untuk menghilangkan duka ini, suhu?"
"Kalau
engkau masih ingin mengubah keadaan, berarti engKau masih terseret
dalam lingkungan itu. Yang ingin mengubah itu adalah si keadaan itu
sendiri, masih dalam satu ruangan yang dikuasai nafsu. Kalau aku
menjawab bahwa engkau jangan melakukan apa-apa, maka jangan melakukan
apa-apa inipun masih sama saja, masih satu usaha untuk mengubah
keadaan."
"Wah, teecu menjadi bingung, Suhu."
"Sin
Wan, dahulu ketika ibumu meninggal dunia, engkau mengucapkan sebaris
kalimat dari agama ibumu yang sampai sekarang masih teringat olehku.
Kalimat itu berbunyi: Dari Allah kembali kepada Allah. Nah,
kenapa engkau lupakan itu? Kenapa engkau tidak mengembalikan dan
menyerahkan saja kepada Tuhan? Serahkan segalanya dengan penuh
kepasrahan, penuh keikhlasan, penuh kesabaran. Dengan bekal penyerahan
total dan mutlak ini, amatilah dirimu sendiri, amatilah duka dalam
dirimu itu tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menghilangkannya. Hanya
kekuasaan Tuhan sajalah yang akan menertibkan semua bentuk nafsu yang
menguasai dirimu."
Wajah Sin Wan berseri.
"Terima kasih, suhu! Ya Allah. ya Tuhan, dengan adanya Tangan Tuhan yang
membimbing, kenapa hamba melupakan ini dan menjadi lemah, cengeng dan
putus asa? Terima kasih, suhu!". Dan pada saat itu, tidak ada
sedikitpun bekas kedukaannya yang tadi. Memang, duka hanyalah sebuah kenangan belaka. Kalau tidak dikenang, tidak diingat, dukapun tidak ada!
[ Dikutip dari cersil Kho Ping Hoo ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar