Minggu, 08 Juli 2012

Serahkan Segalanya Kpd-Nya Dg Penuh Kepasrahan. Amatilah Diri Tanpa Ingin Mengubah, Biarkan Tuhan Yg Menertibkan Segala Nafsu!

"Ha..ha..ha..ha, sepatutnya engkau bersyukur karena telah merasakan banyak kekecewaan dan kepahitan. Itulah pengalaman terbaik dalam kehidupan ini. Bagaikan orang berlayar di samudera, betapa akan menjemukan kalau lautan itu selalu tenang saja, tak pernah bergelombang. Justeru menempuh gelombang itulah yang membuat kita sadar bahwa kita ini hidup! Engkau harus berani menghadapinya dan mengatasinya. Jangan sembunyi dalam kecengengan. Manusia hidup matang dalam tempaan pengalaman hidup yang serba pahit. Orang akan menjadi besar oleh gemblengan kepahitan hidup, sebaliknya orang akan menjadi dungu dan malas oleh maboknya kemanisan hidup. Kesusahan dan keprihatinan membuat orang bijaksana, sebaliknya kesenangan dan kemakmuran membuat orang menjadi tumpul dan lengah."

Sin Wan menghela napas panjang. "Teecu mengerti apa yang suhu maksudkan. Akan tetapi, suhu, bagaimana teecu tidak akan bersedih? Antara teecu dan sumoi telah terjalin hubungan batin yang amat akrab, kami saling mencinta dan sekarang hubungan itu putus begitu saja. Teecu merasa seperti sehelai daun kering yang rontok, terjatuh ke dalam air, terbawa arus air tanpa daya .......”.

Kembali kakek itu tertawa bergelak. "Ha..ha..ha..ha, ucapanmu itu membikin malu guru-gurumu yang telah menggemblengmu, Sin Wan. Menjadi daun kering membusuk terbawa arus air sungai. Phuah! Pendekar macam apa ini? Berkeluh kesah, menangis .dan cengeng! Duka itu hanya permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah dicengkeram nafsu hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu selalu mengejar kesenangan, selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan itu tersembunyi di mana mana, kadang mengenakan jubah bersih, seperti musang berbulu ayam.

Nafsu mendorong kita untuk menonjolkan diri dan penonjolan diri inipun bukan lain hanyalah kesenangan. Kita menginginkan kekayaan, kedudukan, kepandaian, kemasyhuran melalui perbuatan baik atau melalui karya-karya mengagumkan, semua itupun menjadi tempat persembunyian kesenangan. Dan kalau pengejaran kesenangan itu gagal, maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa duka. Engkau merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu dengan sumoimu, merasakan kesenangan dalam hubungan baikmu dengan Bu Lee Ki si jembel tua itu. Ketika mereka memisahkan diri menjauhimu, engkau kehilangan kesenangan itu dan menjadi kecewa, iba diri dan berduka. Engkau menyiksa diri dan menjadi cengeng dan itu suatu perbuatan yang sama sekali keliru."

"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi, teecu tidak dapat membohongi diri sendiri. Hati teecu memang terasa nyeri dan perih, bagaimana teecu dapat melenyapkannya? Apakah teecu narus memaksa diri untuk menghilangkan duka ini yang amat menyiksa? Harus menekan perasaan dan melupakan semua kenangan lama?"

"Sin Wan, tidak ada hubungannya sama sekali antara peristiwa yang terjadi di luar diri dengan keadaan batin yang berduka. Peristiwa itu suatu kenyataan, suatu kejadian yang wajar saja sebagai akibat dari suatu sebab tertentu. Adapun duka di hati itu adalah karena ulah nafsu dalam pikiran sendiri. Suatu peristiwa terjadi. Titik. Apakah hal itu menimbulkan duka atau tidak, tergantung dari cara engkau menerima dan menghadapinya! Kalau engkau kini hendak berusaha melenyapkan duka itu, coba renungkan, siapakah engkau yang kini hendak menghilangkan duka? Bukankah itu juga engkau yang berduka sekarang ini? Keinginan untuk tidak berduka sama saja dengan si duka itu sendiri. Setelah melihat bahwa duka mendatangKan kesengsaraan, maka pikiran kini mencari jalan untuk melepaskan diri dari ketidak senangan itu, tentu saja agar menjadi senang! Engkau terseret dalam lingkaran setan kalau begitu, Sin Wan."

Pemuda itu tertegun. Bingung. "Lalu, apa yang harus teecu lakukan untuk menghilangkan duka ini, suhu?"

"Kalau engkau masih ingin mengubah keadaan, berarti engKau masih terseret dalam lingkungan itu. Yang ingin mengubah itu adalah si keadaan itu sendiri, masih dalam satu ruangan yang dikuasai nafsu. Kalau aku menjawab bahwa engkau jangan melakukan apa-apa, maka jangan melakukan apa-apa inipun masih sama saja, masih satu usaha untuk mengubah keadaan."

"Wah, teecu menjadi bingung, Suhu."

"Sin Wan, dahulu ketika ibumu meninggal dunia, engkau mengucapkan sebaris kalimat dari agama ibumu yang sampai sekarang masih teringat olehku. Kalimat itu berbunyi: Dari Allah kembali kepada Allah. Nah, kenapa engkau lupakan itu? Kenapa engkau tidak mengembalikan dan menyerahkan saja kepada Tuhan? Serahkan segalanya dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, penuh kesabaran. Dengan bekal penyerahan total dan mutlak ini, amatilah dirimu sendiri, amatilah duka dalam dirimu itu tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menghilangkannya. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan menertibkan semua bentuk nafsu yang menguasai dirimu."

Wajah Sin Wan berseri. "Terima kasih, suhu! Ya Allah. ya Tuhan, dengan adanya Tangan Tuhan yang membimbing, kenapa hamba melupakan ini dan menjadi lemah, cengeng dan putus asa? Terima kasih, suhu!". Dan pada saat itu, tidak ada sedikitpun bekas kedukaannya yang tadi. Memang, duka hanyalah sebuah kenangan belaka. Kalau tidak dikenang, tidak diingat, dukapun tidak ada!

[ Dikutip dari cersil Kho Ping Hoo ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar