Kamis, 03 Februari 2011

Benarkah kita mencintai orang itu? Atau kita mencintai diri kita sendiri?

Engkau hanya tinggal membuka mata, baik mata badan maupun mata batin, membuka dan memandang, mengamati, dan engkau sudah mendapatkan segala macam pe­tunjuk yang kaubutuhkan dalam kehidupan ini. Eng­kau tidak lagi perlu meminta berkah karena kalau engkau mau membuka mata batinmu, akan nampak­lah bahwa berkah itu sudah mengalir berlimpahan sejak kita lahir sampai kita mati, tiada putus-putus­nya berkah mengalir kepada kita. Kita tinggal meng­ulur tangan dan meraih saja. Sayang, betapa banyaknya mata manusia seolah-olah buta, tidak melihat akan limpahan berkah, merengek dan meminta-minta selalu tanpa melihat yang sudah ada. Lihat! Na­pasku adalah berkah, denyut darahku adalah berkah, kehidupanku adalah berkah, alam semesta adalah berkah. Lalu apa lagi yang harus kita minta? Kita tidak mau melihat itu semua, melainkan merendam diri ke dalam duka, kehilangan, kekecewaan, kesengsaraan. Betapapun bodohnya kita ini!”


“Anak isteri ini milik saya,
harta benda itu milik saya,
dengan pikiran ini si dungu selalu tersiksa,
dirinya sendiripun bukan miliknya,
apa lagi anak isteri dan harta benda?”






Wan Tek Hoat membantah, ”Suhu yang mulia, duka ini datang tanpa saya sengaja, bagaimana akan dapat menghilangkan duka selagi hidup di dunia?”
“Omitohud, perlukah hal ini saudara tanyakan lagi?” kata kakek itu dengan ramah. ”Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah orang bijaksana yang tidak akan tersentuh duka.”
“Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, bagai­mana pula ini, suhu? Bukankah mempunyai sama dengan memiliki?”
“Mempunyai lahiriah, hal itu terikat oleh hukum­hukum lahiriah buatan manusia. Mempunyai ba­daniah tidak perlu menjadi memiliki batiniah. Kelu­argaku dengan segala hak dan kewajibannya, hal itu adalah urusan lahiriah yang diperlukan untuk kehi­dupan bermasyarakat. Akan tetapi, batin tidak perlu memiliki karena sekali batin memiliki, maka akan terjadi ikatan batin dan inilah sumber segala keseng­saraan, sumber segala duka! Harta bendaku hanya kepunyaan badan karena harta benda hanya diperlu­kan oleh badan. Namun, sekali batin memiliki pula harta benda itu, akan terjadilah kehilangan yang akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan. Ingat, hanya dia yang memiliki sajalah yang akan kehilangan. Ba­tin yang tidak memiliki apa-apa, batin yang bebas dan tidak terikat oleh apapun juga, tidak terikat oleh isteri, oleh anak, keluarga, harta benda dan sebagai­nya, batin seperti itu bebas dan murni dan takkan tersentuh duka. Lihat, saudaraku yang baik. Badan ini memang punya saya, dan adalah kewajiban saya untuk menjaganya, memeliharanya, membersihkannya, melindunginya. Akan tetapi badan, ini punya saya lahiriah saja. Batin tidak harus memiliki dan terikat karena kewaspadaan bahwa segalanya itu akan berakhir dan ikatan itu hanya menimbulkan duka karena kehilangan dan iba diri. Ikatan batin menum­buhkan akar dan jika tiba saatnya perpisahan, maka akar itu akan tercabut dengan kekerasan sehingga menimbulkan luka berdarah.”
“Akan tetapi, suhu yang mulia, bukankah kalau batin tidak memiliki lalu kita bersikap acuh dan ti­dak perduli akan segalanya itu? Bagaimana mung­kin saya mengacuhkan isteri saya yang amat saya cinta?”
Diserang demikian, kakek itu tersenyum lebar penuh kesabaran seperti seorang guru yang baik hati menghadapi seorang murid yang masih bodoh. Dan memang sesungguhnyalah, menghadapi alam yang menjadi guru, kita manusia ini hanyalah murid-murid yang bodoh, anak-anak kecil yang tubuhnya besar.
“Saudaraku yang baik, justeru karena tidak ada­nya ikatan batin, maka batin menjadi bebas dan ha­nya batin yang bebas sajalah yang penuh dengan cin­ta kasih. Sinar cinta kasih itu akan hidup terus dan dengan adanya sinar cinta kasih, bagaimana mungkin orang menjadi acuh? Sebaliknya, cinta kasih mem­buat orang penuh perhatian dan waspada terhadap segala-galanya, baik yang terjadi di dalam maupun di luar dirinya.”
“Saya dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan suhu. Akan tetapi, saya memang terikat lahir batin dengan isteri saya, dan karena itulah saya men­derita dan kehilangan karena kematiannya. Kalau saya tidak mencinta isteri saya, mana mungkin tidak terikat lahir batin saya, suhu?”
“Siancai.... di siniiah letak persimpangan yang membingungkan semua orang. Tentang cinta dan ikatan! Saudaraku, cinta kasih itu hanya ada kalau di situ terdapat kebebasan. Cinta kasih itu kebebasan. Ikatan bahkan meniadakan cinta kasih. Ikatan itu hanya menciptakan duka, dan ikatan itu terjadi karena nafsu, saudaraku! Cinta tidak menimbulkan ikatan, akan tetapi nafsulah yang menimbul­kan ikatan. Nafsu timbul karena adanya aku. Cinta kasih yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu yang memakai nama cinta. Dan naf­su itu berarti mencinta diri sendiri. Saudaraku yang baik, apakah saudara mencinta mendiang isteri saudara?”
Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah hati Wan Tek Hoat, matanya terbelalak dan sejenak hatinya terasa panas. Ah, betapa tangannya akan bergerak menyerang, mungkin membunuh orang yang berani meragukan cintanya terhadap isterinya! Akan tetapi pertanyaan dari mulut kakek itu dikeluarkan demiki­an halus dan wajar, sama sekali tidak mengandung ejekan, keraguan atau celaan, bahkan dia merasa se­olah-olah batinnya sendiri yang tadi mengajukan pertanyaan.
“Apa.... apa maksud pertanyaan suhu ini?” dia tergagap.
“Maksudku agar engkau melihat sendiri, meng­amati sendiri, menjenguk isi hatimu apakah engkau mencinta isterimu, ataukah hanya mencinta diri sen­diri,”
“Suhu, tentu saja saya mencinta isteri saya! Ah, suhu tidak tahu betapa besar cinta kasih saya kepada mendiang isteri saya!” Wan Tek Hoat mengemu­kakan semua pengalamannya bersama isterinya yang dicintanya.
Kakek itu mengangguk-angguk. ”Begitulah ang­gapan semua orang tentang cinta. Akan tetapi, sau­daraku yang baik, marilah kita bersama menyelidiki tentang cinta ini. Kalau benar bahwa engkau mencinta mendiang isterimu, lalu mengapa sekarang eng­kau menangisi kematiannya, berduka karena kemati­annya? Mengapa....?”
Pertanyaan ini mengejutkan hati Wan Tek Hoat dan membuatnya tercengang, sejenak tak mampu menjawab. ”Mengapa? Tentu saja saya menangisi kematiannya karena saya cinta kepadanya, karena sa­ya kehilangan....“
“Nah, berhenti!” Kakek itu mengangkat ta­ngannya menghentikan ucapan Wan Tek Hoat yang belum selasai. ”Itulah, lihat baik-baik dan engkau akan menemukannya. Karena kehilangan! Karena kehilangan isterimu maka engkau berduka, menangis, merasa iba kepada diri sendiri.”
“Tapi.... tapi saya merasa kasihan kepadanya....”
“Saudaraku yang baik. Benarkah itu? Benarkah engkau merasa kasihan kepada isterimu dan karena kasihan itu engkau menangisi kematiannya? Kalau benar demikian, mengapa engkau merasa iba kepadanya? Karena dia mati? Bagaimana mungkin kauapat mengasihani seseorang yang mati kalau kau sendiri tidak tahu bagaimana keadaan orang setelah mati? Yang jelas, ia telah kehilangan badannya yang menua dan rapuh, tidak merasakan lagi gangguan usia tua, bebas dari penanggungan badannya. Tidak, kalau kita mau jujur, akan nampaklah oleh kita bahwa yang kita tangisi dalam kematian seseorang bukanlah si mati, melainkan diri sendiri. Kita menangis karena kita ditinggal, karena kita kehilangan sesuatu yang menyenangkan yang kita peroleh dari orang yang kita cinta itu. Cinta tidak mengandung ikatan, dan karena tidak ada ikatan inilah, maka tidak akan ada duka pada saat perpisahan. Dalam kedukaan saudara ini, yang ada bukanlah cinta, melainkan nafsu dan terputusnya ikatan yang mengakar dalam batin. Duka saudara bukan karena cinta kepada yang mati, melainkan karena iba diri sendiri yang ditinggalkan.
Wan Tek Hoat merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin yang membuatnya gelagapan, akan tetapi juga membuat dia sadar. Hatinya tersentuh keharuan dan diapun menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu.... saya dapat melihatnya sekarang. Saya harap suhu sudi memberi bimbingan kepada saya untuk selanjutnya. Saya akan belajar mencari kebebasan....“
“Omitohud, omonganmu itu keliru, saudara. Ja­ngan katakan mencari kebebasan, karena kebebasan tidak mungkin dapat dicari. Yang penting, patahkan semua belenggu dari batin. Kalau sudah tidak ada ikatan, dengan sendirinya sudah bebas, bukan? Dalam keadaan terbelenggu mencari kebebasan, mana mungkin? Berada di dalam kurungan nafsu keakuan, tak mungkin mencari kebebasan. Kebebasan yang ditemukan di dalam kurungan itu bukanlah kebebas­an yang sejati. Hanya kalau kita mampu menjebol kurungan itu dan berada di luar, barulah kita boleh bicara tentang kebebasan.”
“Saya ingin mempelajari tentang kehidupan dari suhu, harap suhu suka menerima saya sebagai murid.”
Kakek itu tersenyum dan mengajak pergi Wan Tek Hoat. Semenjak hari itu, tidak ada seorangpun di Bhutan yang pernah melihat lagi bekas panglima itu. Oleh kakek yang arif bijaksana itu, Wan Tek Hoat diajak merantau ke Tibet, diperkenalkan dengan para pendeta Lama dan para pertapa, memper­dalam kewaspadaan dan kebijaksanaan, mempelajari tentang kehidupan, tentang alam. Wan Tek Hoat mencukur rambut kepalanya, mengenakan jubah pendeta sederhana dan memakai nama Tiong Khi Hwe­sio.

Sumber : kph

Tidak ada komentar:

Posting Komentar