Kamis, 03 Februari 2011

Untuk Pemimpin: Yg Penting Kelakuan Sehari-Hari Yg Nyata Dpt Dilihat, Bkn Kata2 Kosong Yg Dikeluarkan Lidah Yg Tdk Bertulang!

Sin Liong menggeleng kepala. "Apa dayaku menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, Lembah Naga ini sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang menjadi tempatku bermain-main ketika aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apalagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan maksud memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau." Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Biarpun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi membantu untuk melakukan penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw dan melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan."
 
Dua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Setiap pemberontakan, setiap pembaharuan, setiap gerakan untuk menumbangkan yang lama dan menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu. Dan yang memberontak, yang baru, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan berhasil tanpa bantuan rakyat, rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak. Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksud tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan dan sama sekali melupakan atau sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk membantu gerakan mereka itu.
 
Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyatpun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu!
 
Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankah segala semboyan dan anjuran tentang hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya? Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

Sumber : kph

Tidak ada komentar:

Posting Komentar