Kamis, 03 Februari 2011

Biarkan Pikiran Memandang Pikiran Itu Sendiri Tanpa Menilai Dan Menimbang Untung Rugi, Semoga Kebencian Akan Hilang Selamanya!

"Kau... kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri sendiri kepada pangeran! Engkau manusia terkutuk!" Setelah berkata demikian, Beng Sin memungut goloknya dan lari meninggalkan tempat itu, tidak memperdulikan suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya. "Beng Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!"     
 
Hok Boan bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada Siong Bu, lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu tewas, dan Beng Sin melarikan diri! Dia ditinggal seorang diri saja di dunia ini! Para pelayan yang mendengar ribut-ribut dan datang ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat; fesbuker) itu terkejut dan segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi mayat tuan muda yang mandi darah!
 
Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk kepada sang "nasib". Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala "nasib" berada pada diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit, kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih!
 
Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung, seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar!
 
Kita membenci seseorang. Mengapa? Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah maupun batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai dengan dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan serangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita terhadap orang itu.
 
Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lain yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal karena kita ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian adalah tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri.
 
Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang pula dengan penilaian pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik, dan harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa kebencian kita itu tepat dan benar karena memang orang itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, namun kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan tetap ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang menilai-nilai.
 
Dapatkah kita memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar, karena kalau ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itupun akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan. Kita sadar bahwa ada kebencian dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak membenarkan atau menyalahkan, kita pandang saja! Kita dalam hal ini, adalah sang pikiran itu, dan kebencian adalah sang pikiran itu pula. Biarkan pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan.

Sumber : kph

1 komentar:

  1. nilailah dengan pikiran itulah obyektifitas,jangan denga hati atau pun perasaan, karena yang ada hanya rasa suka dengan tidak suka.

    BalasHapus